Jakarta - Kepala Badan Reskrim Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto mengungkapkan restorative justice atau keadilan restoratif menjadi prioritas kepolisian dalam melakukan penyelesaian perkara.
Itu sebabnya, sepanjang tahun 2021 hingga Maret 2022, Polri telah menyelesaikan 15.039 perkara dengan restorative justice.
"Jumlah ini meningkat 28,3 persen dari tahun sebelumnya sebesar 9.199 kasus," kata Agus dalam kegiatan talkshow bertajuk `Restorative Justice Harapan Baru Pencarian Keadilan`, Selasa, 19 April 2022.
Komjen Agus mengatakan, terkait pendekatan restorative justice yang diterapkan oleh Polri saat ini, sebanyak 1.052 Polsek di 343 Polres sudah tidak lagi melakukan proses penyidikan.
Polsek kata eks Kapolda Sumut, itu merupakan ujung tombak Polri dalam hal pelayanan yang paling bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Polsek harus menjadi basis resolusi penyelesaian perkara berkeadilan dengan cara dialog, mediasi, probling solving, dalam menyelesaikan perkara ringan, pertikaian warga ataupun bentuk-bentuk gangguan kamtibmas lainnya.
"Hal ini jelas merupakan merupakan upaya dari restorative justice sesuai visi Presisi Bapak Kapolri," ujar Agus.
Dia menegaskan, prinsip utama dalam keadilan restoratif yakni, penegakan hukum yang selalu mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
Baca juga:
Bentuk Rumah Restorative Justice di 9 Provinsi, Kejagung: Ada Nilai Luhur dalam Pelaksanaannya
"Penekanan Bapak Kapolri, penyidik harus memiliki prinsip bahwa hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium). Polri harus bisa menempatkan diri sebagai institusi yang memberikan rasa keadilan kepada masyarakat," ucap Agus.
Hanja saja dia menekankan, tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan pendekatan restorative justice.
Pasal 5 Perpol 8 Tahun 2021 menegaskan, kasus-kasus yang dapat diselesaikan melalui restorative justice harus memenuhi persyaratan materil.
Tindak pidana kejahatan yang tidak bisa diselesaikan dengan restorative justice, yakni terorisme, pidana terhadap keamanan negara, korupsi dan perkara terhadap nyawa orang.
Tidak menimbulkan keresahan dan penolakan dari masyarakat, tidak berdampak pada konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatisme serta bukan pengulangan pelaku tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan. []